-->

Kopi dan Cerita di Tengah Pandemi

KOPI DAN CERITA DI TENGAH PANDEMI

Saya menepuk bahu Tajul, "laki-laki terkuat di muka bumi bukanlah laki-laki yang mampu menyembelih kerbau tanpa diikat. Melainkan laki-laki yang mampu menahan amarahnya".
_____________________________________

Ditulis oleh: M. Yusrizal

Sudah sepekan kami tidak bertatap muka, dengan dalih kesibukan masing-masing seiring kami beranjak menjadi laki-laki dewasa. Sebab kata seorang penulis dari Pulau Java, "semakin kita dewasa semakin tidak bisa seenaknya". Maka dari itu, malam ini kami mencoba bertemu, di sebuah warung kopi merakyat yang letaknya sedikit menepi dari kesibukan ibu kota. Sabtu malam, 18 Juli 2020 Tuhan merestui kami bertemu, walau harus mempraktikkan salam ukhti sebagai pengganti jabat tangan hangat sebelum pandemi.

Saya memesan kopi hitam pancong, biar sedikit terkesan legendaris ala-ala tetua Aceh. Kopi ke tiga saya hari ini; pagi, sore, dan malam. Tidak pernah saya separah ini mengkonsumsi kopi, tiga kali sehari. Semua ini bertujuan meredam pikiran saya yang terlalu wara-wiri seperti GAM Cantoi semasa Konflik Aceh dengan Pusat belasan tahun silam.

Afdal memesan segelas susu panas, alasannya ia telah lama tidak minum susu (entah apa itu, saya tidak tahu). Dan pun, susu tersebut sebagai penambah nutrisi otaknya sehabis bergelut di ruangan Tata Usaha salah satu Sekolah Menengah Atas di Aceh Besar.

Tajul datang dengan mengeluh, kulitnya gatal-gatal, vonis dokter ia salah makan, semoga ia tidak makan batu lantaran tidak punya uang selama bumi diserang pandemi. Maka dari itu, ia hanya memesan segelas teh hangat kelat, agar dokter tidak memvonis ia salah minum sehingga lelaki ini ke-ga-ta-lan.

Cerita kami macam-macam. Afdal dengan cerita pekerjaannya di sekolah, ia sangat senang lantaran sekolah memfasilitasi sebuah PC baru pada meja kerjanya.

Saya tidak bercerita pekerjaan, hanya jadi penanya perihal problema SPP mahasiswa selama pandemi, bertanya ini itu, yang mereka tidak sadar atas pertanyaan-pertanyaan tersebut bahwa saya sedang bekerja. Saya tidak memberi tahu bahwa sekarang profesi saya setengah inteligen, "sebab sebodoh-bodohnya intel adalah intel yang mengatakan bahwa dirinya itu intel" semoga saya tidak bodoh telah menulis berita pemberitahuan ini.

Tajul banyak bercerita perihal dagangnya. Sesekali ia terpancing bercerita tentang Umi kekasih bayangannya. Saya dan Afdal jadi orang nakal menanyakan hal tersebut, hampir saja Tajul menghabiskan tisu warung kopi menyeka air mata. Kami merasa bersalah telah membuatnya melankolis.

Karena profesi saya sebagai intel, akhirnya berhasil menguak tindak kejahatan yang sedang direncanakan Afdal pada masa depan. Setelah tak sanggup mengelak pertanyaan yang terus menembak kupingnya, akhirnya lelaki ini memberi pengakuan ia tidak akan datang ke acara resepsi pernikahan saya dan resepsi pernikahan Tajul kelak. "Saya tidak suka makan ikan, dan daerah kalian mempunyai tradisi menyembelih ikan bandeng (ikan mulus) ditiap acara adat dan acara kematian," tutur Afdal. Bukankah ini bentuk kejahatan yang sedang direncanakan? Biarkan pembaca yang menilai, apa ia patut diberi hukum tembak mati di tempat lantaran tidak menghadiri pesta perkawinan rekannya sendiri.

Berbicara perihal tempat kelahirannya, Geurugok, Bireuen, Tajul punya kisah sosok yang menarik untuk di bagi. Nek Bat panggilan akrabnya, lelaki tua berumur 80 tahun itu berpostur ceking (kurus), namun tenaganya masih sangat kuat. Lelaki tempramen itu pernah menendang lembu jantannya hingga sang lembu jatuh tersungkur tak berdaya. Lembu yang baru dibeli di gelanggang ternak pada pasar Geurugok mewarisi sifat pemalas. Binatang ini enggan berjalan tatkala Nek Bat menarik-nariknya untuk dibawa pulang, matahari menombak ubun-ubun di siang itu, keringat Nek Bat timbul berserakan sebesar biji jagung hingga bajunya ikut basah dan bau apek, naik pitamlah lelaki tua bangka itu, diambilnya ancang-ancang ke belakang beberapa langkah sebelum akhirnya menghadiah si lembu sepakan ala Bruce Lee. Lembu menjerit, orang-orang Keude Geurugok bersorak-sorai dan berdecak kagum tak henti-henti, memuji si tua renta itu. Belahan bumi mana yang mampu memproduksi lelaki tua sanggup menumbangkan seekor lembu jantan dewasa? Saya rasa hanya Nek Bat yang mampu melakukan itu.

Mendengar cerita Tajul yang demikian komedi, tawa saya lepas tak terbendung, kacamata saya lepas, seketika menyeka air mata dengan punggung tangan, sebab tisu telah dihabiskan Tajul menangisi Umi, kekasih hati yang belum diikat. Kabarnya wanita yang berinisial Umi itu sering singgah ke sana-kemari. Semoga Tajul tidak mengikat Umi seperti Nek Bat mengikat lembunya, apalagi meniru gaya Nek Bat mensalto lembu malang itu.

Saya menepuk bahu Tajul, "laki-laki terkuat di muka bumi bukanlah laki-laki yang mampu menyembelih kerbau tanpa diikat. Melainkan laki-laki yang mampu menahan amarahnya". Kini giliran Afdal yang menangis mendengar ucap saya yang terlampau bijak, ia menyeka air mata dengan lengan baju***

(Foto penulis; intel)

(Foto Tajul; toke)

(Afdal; praktisi-akademisi)

Note:
Dalam cerita di atas kami tidak sempat memegang gawai. Hingga selembar foto kebersamaan pun lupa kami abadikan. Penulis diharuskan mengutip foto-foto tersebut pada media sosial tokoh yang dimaksud.

Drama tangis-menangis hanyalah bualan penulis semata.

#kurangi.pemakaian.gawai ketika duduk bersama teman. Duduk dan ceritakan.


Untuk Navigasi Lengkap Silahkan Kunjungi Peta Situs



Baca Juga:

Langganan Via Email

Post a Comment

Copyright © | by: Me