-->

Menangkap Pesona Lima Belas di Bukit Lampisang

Menangkap Pesona Lima Belas di Bukit Lampisang
(Oleh: M Yusrizal)

“Jangan berhenti di jalanan terjal, bawaannya berat ini,” pekik Afdal yang mulai jengkel dengan pendakian ini. Aku dan Farhan berada di barisan paling depan mencari jejak jalur pendakian untuk menuju puncak. Cukup berat untuk melacak jalur setapak ini dalam kondisi gelap terlebih ditambah dengan jalur kamuflase hewan ternak warga sekitar. Jujur aku kewalahan dalam menentukan jalur mana yang harus kami lalui sedangkan sayup-sayup azan magrib sudah mulai terdengar dari kejauhan sana.

“Berhenti Yus, jangan gerak dulu,” Farhan menepuk bahuku dari belakang. Aku paham dengan ultimatum Farhan. Sepuluh meter di depan kami terdapat track yang memang benar-benar gelap karena dipenuhi dengan semak-semak. Di sebelah kirinya langsung disambut oleh jurang yang cukup terjal. Aku menjatuhkan ransel dari bahu dan mulai bersandar pada tebing. “Breeeaak,” aku menginstruksikan kepada kawan-kawan yang di belakang. Namun mengenai mencekamnya jalan di depan yang harus kami lalui tidak aku dan Farhan ceritakan kepada kawan-kawan yang lain, hal ini bertujuan untuk tidak menjatuhkan mental anggota tim. Satu hal yang ditakutkan ketika melakukan pendakian pada malam hari, hewan buas, yang kapan saja siap mengancam nyawa. Aku memulai hitungan tim dengan teriakan satu, lalu diikuti dua, tiga dan seterusnya. Dan gila, kami keteteran dua anggota cukup jauh di belakang. Hal ini diketahui dari hitungan kami dalam gelap itu hanya berjumlah 13 anggota sedangkan jumlah kami semua 15 anggota. Salah satu dari kami langsung menghidupkan hp dan menelfon pasukan yang tertinggal di belakang, Yoga dan Mursalin, dari informasi mereka masih jauh di belakang bersebab pada kaki Mursalin yang tidak bersahabat dengan bebatuan tajam pegunungan. Dalam pendakian kali ini kami menaklukkan Bukit Lampisang, Aceh Besar. Tujuan kami adalah menangkap pesona Kota Banda Aceh pada malam hari.


Setelah menunggu berkisar 20 menit akhirnya mereka sampai dan kami melanjutkan perjalanan dalam malam yang semakin pekat gelapnya. Kupasang senter kepala dan dengan ucapan bismillah hirrahmanirrahim kuayunkan langkah pasti membelah belantara ini. Dalam perjalanan kali ini kami lebih berhati-hati memantau ekor rombongan supaya tidak ada yang tertinggal jauh di belakang, dan hal yang selalu aku tekankan adalah hati-hati dengan pijakan sebab medannya berbatu dan licin yang sedikit saja oleng keseimbangan maka jurang siap menyambut tubuh kami di bawah sana.

Dan ini kebuntuan kedua yang harus kami hadapi. Jalan benar-benar sudah tak terlihat. Senter kami tidak lagi menangkap jejak sepatu pendakian sebelumnya. Aku semakin cemas dan ide-ide pecundangku mulai timbul untuk membangun tenda di punggung bukit saja sebab jalanan sudah sangat berat untuk dilacak pada malam hari. Tujuan kami adalah puncak, sebab di sanalah pesona gemerlap Ibukota Provinsi Aceh dapat dicicipi dengan puas seraya menghidupkan api unggun lalu ditambah dengan aroma ayam panggang untuk pengganjal perut. Ketika membayangkan itu aku menekatkan diri bersama Farhan untuk menanjaki sekitar dua ratus meter ke depan, tujuan kami untuk memantau apakah kota sudah terlihat sekaligus melacak kembali keberadaan jalan. Dan rombongan kami instruksikan untuk rehat sejenak melepas penat. Setengah jam kami berdua berpisah dengan rombongan untuk memecahkan rute ini, dan akhirnya kami memberikan kode senter kepada tim dibawah sana untuk menanjak ke tempat kami berdiri, dan jalan kembali kami dapati tetapi tidak dengan penampakan kota yang seakan pupus dari semangat kelima belas anggota tim kami. Aku selalu menyemangati kawan-kawan bahwa tidak lama lagi jalan ini akan membawa kita ke puncak, padahal aku sendiri tidak mengetahui jalan setapak ini akan menuntun kami ke belantara mana lagi. Keluhan mulai timbul dari Tajul anggota tim kami yang posturnya paling berisi, dia sangat kewalahan, baju yang dikenakan harus dia buka sebab kepanasan hingga menampakkan gumpalan lemak-lemak badannya di bawah cahaya senter. “Kan sudah aku bilang mendaki gunung itu susah, kalian aja yang keras kepala.” Beberapa kawan lain ikut menghibur dia dengan iming-iming puncak yang semakin dekat.

Sebelum Pendakian
Aku akan sedikit bercerita sebelum pendakian ini dimulai. Cerita yang sedikit berat untuk kuketik. Dari keputusan rapat dua hari yang lalu sebelum pendakian dimulai kami menyepakati beberapa poin di antaranya; kami wajib membawa perlengkapan pribadi (piring, gelas, sendok, nasi, air, dan perlengkapan tidur) yang ini tidak untuk dibagi; kami wajib bergotong royong membawa perlengkapan kelompok (tenda, konsumsi kelompok, dan lain-lain; dan yang terakhir kami menyepakati untuk berkumpul pada hari pendakian di titik kumpul tepat pada pukul 15:00 dan pukul 15:30 apabila  ada yang belum datang maka kami berhak untuk meninggalkan mereka.
Pada hari H, aku, Munawar, Farhan, dan Afdal datang tepat waktu. Sedangkan kebanyakan anggota yang lain masih tidak termonitor keberadaan mereka. Aku tunggu sampai pukul 15:30 dan benar mereka tidak menampakkan batang hidungnya satu pun, dan jujur aku menggerutu serapah dalam hati. Sesudah azan Asar berkumandang kami memutuskan untuk menuju Desa Rimajeuneu pemberhentian terakhir sebelum pendakian dimulai tanpa memikirkan kawan tim yang belum lengkap. 

Di pinggiran desa ini ada warung kopi yang belakangnya langsung disambut hamparan sawah hijau, dan 500 meter dari warung kopi tempat pemberhentian kami ada bukit yang menjulang gagah dan itulah bukit yang akan kami cumbu sebentar lagi. Kami menyeruput kopi seraya melakukan obrolan dengan petua-petua desa yang sedang menyulutkan rokok Marlboro. Dari obrolan kami, Pak Wa menyarankan kami untuk melakukan pendakian sebelum azan magrib, dan apabila azan sudah terdengar kami diwajibkan untuk berhenti. Kami mengangguk pertanda mengiyakan. Kembali kupandang bukit megah itu, matahari sudah mulai turun untuk bersembunyi di balik bukit pertanda malam akan menyapa kami tidak lama lagi. 

“Parah, tidak satu pun dari mereka yang datang, kenapa mereka pakai jam karet sih,” Farhan sudah tidak sanggup lagi menahan geramnya. Dan pukul 17:00 hp aku bergetar, Tajul menelfon, dia menanyakan keberadaan lokasi kami, dan benar saja mereka tersasar. Aku terpaksa kembali menghidupkan motor dan menjemput mereka di pintu gerbang desa.

Setelah semua pasukan berkumpul aku langsung menginstruksikan untuk segera prepare sebelum keberangkatan. Memastikan barang bawaan terbawa semua, melakukan penghitungan jumlah anggota, dan terakhir doa keselamatan kami di jalan dan ditutup dengan salam semangat.

“Pak, kamoe meulake izin nak ek u puncak. Mohon doa keu kamoe pak,” kami menyalami warga yang duduk di warung kopi tempat persinggahan sekaligus menjadi ladang parkir kami, dan perjalanan dimulai dengan sambutan pematang sawah sebagai pijakan kami sebelum menjumpai kaki bukit.

Terlalu kekanak-kanakan apabila kami menyalahkan jam karetnya kawan-kawan yang menyebabkan kami kemalaman di belantara hutan. Sebut saja ini bukan kesalahan siapa-siapa dan kami bisa senang susah sama-sama dalam mendaki tanpa adanya adu argument atau menyuguhkan muka masam di perjalanan. Kami sudah cukup dewasa kurasa.

Dan dengan berkat doa dari kami semua, tim Mahasiswa Sejarah 15 Universitas Syiah Kuala berhasil membidik beberapa lampu kota, ini pertanda baik bahwa puncak bukit sudah di depan mata. Kami terus berusaha menerobos semak-semak untuk menuju puncak bukit dan tepat pukul 19:15 kami berteriak Indonesia, Aceh di puncak Bukit Lampisang. Ada yang merebahkan badan, melepas ransel bawaan sambil menikmati kemilaunya kota dan lereng-lereng bukit yang disenter cahaya bulan. Aku tidak henti-henti berteriak meluapkan kegembiraan dan kepuasan. Bertasbihlah hati pada malam itu.

Sesudah istirahat sejenak dan menghidupkan api pembakaran untuk penghangat badan kami berkumpul dan mengelilingi api. Untuk memudahkan kerja kami Farhan membagi anggota ke dalam tiga tim; tim pencari kayu, tim bangun tenda, dan tim dapur. Aku masuk dalam tim pencari kayu. Keringat belum kering, aku dan empat kawan lainnya harus kembali membelah hutan mencari kayu-kayu mati untuk kami tebas dan kami bawa pulang ke tenda kemah.

Pukul 20:36 kami kembali berkumpul dan bercengkrama dengan ayam panggang pakai kecap. Itulah kekayaan yang tak ternilai harganya (kebersamaan). Canda tawa mulai dihadirkan dalam prosesi makan malam itu, mulai dari guyonan Zaini yang harus menggotong galon air ke atas bukit (atraksi gila yang belum pernah dilakukan oleh pendaki berkaliber internasional sekalipun), Tajul yang harus berhenti beberapa kali karena kelelahan dalam menanjak. Malam itu Rabbana dan semesta memihak kepada kami, hujan tidak diturunkan dan bintang dihadirkan sebagai wujud kompleks lukisan langit bersama bulan malam yang tidak lelah bercahaya. Menyeduh kopi, makan makanan ringan, mengelilingi perapian, saling menjahili, meledek, dan itu semua disuguhkan dalam bingkai kebersamaan tanpa sedikitpun menggores luka hati, sebab kami adalah dewasa sang penakluk bukit yang tak kenal jera.

Kali ini aku akan menceritakan profil singkat lima belas pendaki-pendaki tangguh yang Menangkap Pesona Keindahan Kota Banda Aceh di Bukit Lampisang.
Duduk; kiri ke kanan
Rahmat Riski; lelaki kelahiran Bireun, tukang Grab, bendahara kegiatan, dan mulutnya tidak dikandangkan sehingga selalu liar dan susah di kontrol.

Satria Zaini; bocah Pulau Kambing Aceh Selatan. Pembicaraan dan otaknya kadang keseringan miring, sehingga yang mendengar omongannya sering terpingkal-pingkal menahan tawa. Oya, dialah pemecah rekor muri si penggotong galon air ke puncak bukit. Hebat bukan?

Yoga Tri Nugraha; abang ini anak medan, kami sering melakabkan ia dengan Si Batak. Oya, perkenalkan inilah Ketua Himpunan Mahasiswa Sejarah FKIP Unsyiah 2018-2019. Aku banyak cerita dengan dia, kalau aku ceritakan takuknya tidak akan muat di artikel perjalanan kami, jadi aku memutuskan untuk tidak bercerita. Hehe

Muhammad Ikram; kami menyebutnya dengan Waang, dia lelaki tampan Negeri Daya Aceh Jaya. Inilah penjelajah paling tangguh di antara kami semua. Waang sudah menjelajah Makasar, Malaysia, dan Thailan berkat papan catur yang jadi makanan sehari-harinya. Aku punya gelar khusus untuk lelaki yang satu ini “Si Pantat Kuda.”

Muhammad Yusrizal; laki-laki biasa ini adalah aku. Anak ini mengintip semesta pertama di belantara rimba Aceh Utara. Dia menyukai tinta karena katanya tinta itu bisa mengabadikan otakmu dan menggambarkan dunia dan seisinya. Sedikit pemberitahuan, dia sudah menginjakkan kaki di pulau; Sumatra (kelahiran), Jawa, Ternate, Halmahera, Tidore, dan Makasar dalam Ekspedisi Jalur Rempah mewakili provinsi ujung barat Indonesia, Aceh. Anak-anak kampus ada yang menggelarkan lelaki ini dengan kuli tinta, si sastra, atau si cerpen. Dia menyukai itu semua, termasuk kamu yang membaca (pembaca). Iya, kamu, yang sedang tertawa dalam hati.

Muhammad Syafikral Amanda; dia anak satu perguruan dengan Zaini, satu pulau dan satu daerah dan mereka juga adik abang. Fikral ini anaknya pendiam, namun dia ahli dalam membaca Al-quran. Katanya abang ini masuk dalam kategori si penakluk wanita. Entahlah.

Berdiri; kiri ke kanan
Syamsudin; abang ganteng ini berasal dari Subulussalam, jauh-jauh ke Banda Aceh untuk menimba ilmu. Dia jarang berbicara namun bukan pendiam, mungkin kewibawaan ya? hehe.

Kausar; aku menyebutnya dengan Mamen. Dia berasal dari Aceh Jaya, Teunom. Seuribai, dua ribai itu jadi ritual guyonan untuk dia.  Dan satu hal perlu kawan-kawan tahu, anak ini jago dalam olah raga karate. Dia juga sudah pernah ke Langsa dalam agenda olah raganya itu.

Teuku Munawar; lelaki berewokan ini salah satu keturunan bangsawan Pidie. Dia orangnya berwibawa, dan saya tidak akan banyak bicara tentangnya.

Afdal Zikri; ini laki-laki yang badannya paling tegap dalam leting kami. Dadanya penuh bulu. Dan kalau hendak bepergian order saja grab abang ini, dia siap melayani antar jemput ke mana saja kalian mau, termasuk ke pelaminan mungkin. Haha. Oya lelaki ini kelahiran Aceh Besar (Asoe Lhok).

Mislia Dharma; ia bocah kelahiran Kota Calang Aceh Jaya. Dia punya suara merdu dan lihai menggelitik senar gitar dan biola. Karena bakatnya ini dia bergabung dengan paduan suara Unsyiah, oya lelaki hitam manis ini juga jago bela diri Tarung Derajat.

Tajul Fazari; dia bocah Bireun. Kami memanggilnya Abi lantaran dia pernah dekat dengan salah satu wanita leting kami yang inisialnya Umi.  Dia juga toke, pandai dalam berdagang, mulai dari deodoran hingga pembalut wanita ada sama dia.

Farhan Fadilah; inilah maha guru (guru besar). Anak Lueng Bata, Banda Aceh. Mulut dia memang perlu kita cabein atau kita jahit menggunakan mesin penjahit karung semen. Omongan dia sering ngasal dan pedas. Jujur sih 99,99% obrolannya bok*p. Ahaaa maaf. Namun aku salut dengan lelaki ini, dia bijak dalam menasehati dan dalam bertindak. Saya banyak berguru dari lelaki ini.

Muhammad Jamil; dia berasal dari kota dingin, Takengon. Dia juga tukang Grab yang banyak diorder sama cewek-cewek cantik. Satu kata yang sering di ucapkan sama mulutnya “anu.”

Mursalin Amri; dia tidak terlihat di foto sebab dia tukang foto. Dia pemilik tenda. Dia anak Lampineung Banda Aceh. Dia ya dia, aku tidak banyak tau tentang dia sebab dia ya dia.

Inilah kami, tanpa basa-basi kami jadi diri sendiri, dan ketika berkumpul kami jadi kami.


Banda Aceh, 21 November 2018
Aksara, M Yusrizal Latief

DOKUMENTASI
















Untuk Navigasi Lengkap Silahkan Kunjungi Peta Situs



Baca Juga:

Langganan Via Email

2 komentar:

  1. Dari kaki gunung hingga ke puncak, kira2 brpa jam pndakiannya ?

    ReplyDelete
  2. 2 jam sudah sampai ke puncak. Sekitar 2-3 kali istirahat (durasi istirahat 10 menit).

    ReplyDelete

Copyright © | by: Me