Tiga Kerbau Putih
(Karya; M. Yusrizal Latief)
Untuk memperlancar pengiriman barang dari Kemukiman Phang Pho ke Kuta, para kafir Belanda mulai membelah rimba untuk membuka jalur kereta api atau sekadar jalan untuk dilalui kuda penarik pedati. Sudah dua tahun terakhir ini, kiprah Ampon Leman melejit sebagai pengutip pajak rakyat, sungguh mulia tugasnya.
Dikarenakan kerjanya yang cukup mumpuni dia dihadiahi sebuah mobil bergaya Eropa untuk ditungganginya. Ke mana-mana ia menggunakan mobil tersebut. Ketika rakyat menaiki pedati, Ampon Leman membelah jalan berdebu dengan mobil tertutup kaca, sungguh elegan di masanya. Di masa rakyat menjadikan umbi-umbi beracun untuk diolah sebagai makanan pokoknya, goni berkutu dijadikan baju hari-hari. Begitu cerita ayah padaku. Ayah memang orang yang banyak tahu mengenai Leman, dan ketika mak secara halus menyembunyikan cerita Leman padaku maka ayahlah juru kunci yang bisa kudobrak akan kisah itu. Kedengarannya tidak menarik memang, menelusuri sejarah akan Ampon Leman lelaki berkisah misterius di Desa Lam Ranggong.
“Sudah malam, tidurlah. Besok kamu ikut ayah ke acara kenduri hutan, semua warga juga akan ke sana, ada tiga ekor kerbau putih besar yang akan disembelih di sana,” ayah meniup lampu teplok dan menepuk bantal untuk pengganjal tidur malamku. Beduk ditabuh bertalu-talu sejak selesai subuh tadi. Aku sudah diajarkan ayah perihal membaca suara tabuhan beduk. Suara beduk yang ditabuh dengan satu gagang itu pertanda kematian salah satu warga kampung; sedangkan beduk yang dipukul dengan dua gagang dalam tempo waktu yang lama itu pertanda adanya pesta rakyat atau kenduri raja-raja kecil yang wajib dihadiri oleh setiap warga tanpa terkecuali. Dan beduk yang kudengar tadi merupakan beduk kenduri rakyat, berarti benar kata ayah semalam, akan ada kenduri hutan di Desa Lam Ranggong.
“Biarkan si Husen pergi bersamaku, terlalu jauh untuk berjalan kaki anak kecil seumuran dia,” pinta ayah pada mak. Setelah aku dimandikan dan dibedaki mak, aku bergegas menaiki belakang sepeda angin milik ayah. Kayuhan sepeda ayah mendecit-decit ketika menanjaki beberapa bukit. Di jalanan banyak kutemui rombongan warga yang menggotong kayu bakar, menggiring kerbau putih bertanduk, kuali besar digotong beramai-ramai dari rumah kepala desa, ayah juga menyempatkan diri menebas beberapa potong bambu kering lalu diikat di atas sepeda dan aku ada di atas tumpukan bambu sedepa itu. Ketika sepeda menuruni bukit, tubuh ayah yang kekar kupeluk dengan erat sambil memejamkan mata. Singkat cerita, kami sampai.
Ada jembatan yang putus, dan kenduri hutan tepat diadakan di penghujung jalan pada bibir sungai. Aku mencoba untuk menerawang ke bawah. Sungguh dalam. Hanya suara air gemercik yang dapat kudengar. Sungai yang gelap karena ditumbuhi berbagai pohon pada tebingnya. Aku bisa merasakan ke dalaman sungai. Tidak bisa kugambarkan seandainya ada kera yang terjatuh dari pohon ke dasar sungai. Mungkin tulang dan isi perutnya akan berhamburan terhantam batu yang kemudian jadi hidangan gratis bagi ikan dan biawak penghuni sungai.
***
Dipapahnya kepala kerbau yang berbalut kain putih, lalu didekatkan ke pinggiran tebing. Kemenyan dibakar dan baunya menyeruak. Dilemparlah tiga kepala kerbau putih ke dasar sungai yang kemudian disusul dengan taburan bunga melati. Aku dan anak-anak lainnya hanya mengamati apa yang sedang dilakukan oleh petua desa kami, mungkin kami masih terlalu lugu untuk memahami hal demikian rupa.
***
Pada suatu pagi, Ampon Leman, Cupo Intan istrinya, Alamsyah anak pertama mereka, dan Halimah si anak bungsu, hendak menuju Kuta untuk penyerahan hasil pajak bumi pada Gubernur Jenderal Belanda, Van Sweeten namanya. Mereka berempat membelah jalan di kelilingi hutan dengan mobil mewah pemberian kafir Belanda. Sedangkan pedati pengangkut hasil pajak bumi diberangkatkan sehari lebih awal menuju Kuta.
Sesampainya di tengah rimba Ampon mengerem mobil berdecit-decit. Ampon memilih turun dari dalam mobil untuk melihat kondisi jalan di depan. “Bedebah, jembatan putus!” Lelaki itu murka. Ketika hendak berbalik arah untuk kembali ke mobil disergaplah Ampon Leman oleh segerombolan pasukan bersenjatakan parang, pedang, dan rencong.
“Kafir engkau wahai Ampon Leman. Sesempit itukah hatimu menjajah negerimu sendiri, sampai hati engkau bersanding bahu dengan kafir-kafir yang tidak pernah mendengar azan dan ikamah pertama mereka di negeri Achin ini. Otakmu telah disumpal jerami busuk.” Ampon hanya tertunduk tanpa memberikan perlawanan yang berarti. Tebasan itu memisahkan kepala Ampon Leman dari badannya. Cupo Intan dan Halimah direnggut kesuciannya bergilir oleh para pasukan sebelum dipenggal layaknya Ampon Leman. Kepala dan jasad mereka dilemparkan ke bawah jembatan yang di bawahnya diairi sungai dalam.
Semenjak peristiwa itu, Ampon Leman dan keluarga tidak kembali lagi. Mereka menginap di bawah Jembatan Seunapet, begitu orang-orang menamakan jembatan yang sering melihat Halimah bergentayangan. Setiap tahunnya mereka meminta tiga kepala kerbau putih. Kalau tidak maka jembatan itu akan roboh dengan sendirinya. Orang-orang meyakini itu ulah arwah keluarga Ampon Leman.
“Engkau paham sekarang dengan kenduri hutan yang kamu hadiri bersama ayah tadi pagi?” Aku mengangguk. Tapi masih ada satu pertanyaan lagi yang hendak kuutarakan.
"Bagaimana dengan Alamsyah, apa ia ikut dibunuh?”
“Tidak, ayah sempat melarikan diri ke dalam semak-semak.”
“Jadi Ampon Leman itu, almarhum kakek?”
Pertanyaan itu membuat ayah terdiam. Dengan anggukan kecil ayah meniupkan lampu teplok. Pertanda sabda ayah aku harus tidur lelap melupakan cerita sang Ampon Leman. []
Note:
Cerpen ini pernah dimuat pada majalah Warta Unsyiah edisi Mei 2019. Jika berminat membaca majalahnya silakan download pada tautan berikut ini: Di sini
Untuk Navigasi Lengkap Silahkan Kunjungi Peta Situs
Post a Comment