-->

Antara Sejarah dan Syajaratun

Antara Sejarah dan Syajaratun

Nahkoda itu mulai berteriak-teriak melengking memberikan intruksik pengelabuhan kapal yang makin merapat ke daratan. Ratusan yang lain riuh gaduh mengokang senjata, meraba beberapa mortil lalu mengaitkanya di pinggang, dan disusul dengan karangan butir-butir peluru diselempangkan rapi di dada. Topi besi pelindung pun tak luput disertakan di atas batok kepala serdadu-serdadu itu. Tak seburitpun senyum terintip di wajah mereka. Dari kejauhan letupan meriam kian menggelegar jiwa, lalu disusul letusan senjata yang terputus-putus diredamkan rapatnya rimba belantara. Ombak makin mungusik, terjangannya menampar lambung-lambung  kapal yang dari remang-remang senja terlihat meriam-meriam gagah dijejer rapi siap untuk di turunkan.
Gerimis ditambahkan lagi kilat yang menyala-nyala langit pantai Aceh makin mempertegang suasana. Tak perlu ditanya lagi dengan ombak yang kian mengganas ikut menempiaskan air asin itu kemuka serdadu-serdadu busuk itu. Pintu kapal mulai terbuka menghantam daratan pasir, tumpahan prajurit keluar berirama cekamnya suasana perang. Johan Harmen Rudolf Kohler, begitu nama seorang tentara gagah itu tersemat di dadanya, yang dari tadi hanya berdiri mematung di deck kapal sambil mengedarkan pandangan ke daratan. Entah apa yang sedang di fikirkannya, taktik perangkah atau instingnya yang kian buram. Aaaah, ditepiskan rasa gelisah peperangan itu yang mulai merasukinya. Bagaimana tidak tentara Aceh yang kabarnya sampai ke negeri Kincir Angin telah berhasil mengalahkan Portugis tanpa kenal ampun hingga-hingga di buru sampai ke Malaka.
Greeek.. suara kokangan senjata lelaki itu mulai mantap terdengar walaupun kesepuluh jemari tangannya ikut bergemetar mendengar meriam-meriam yang di letuskan tentara Aceh jauh di daratan sana. Derap langkah diayunkah pasti membelah rimba di kawasan Pante Ceureumen, serdadu-serdadu membuntutinya dari belakang bak kawanan anjing di gembala oleh tuannya. Betapa terhentaknya Kohler meneropong kedalam kota yang di sebut dengan Kuta Raja itu. Jejeran meriam disafkan rapi oleh tentara-tentara bergelar fisabilillah. Hunusan pedang dan rencong kian membiaskan cayaha kehancuran oleh terangnya bulan di magrib itu. Apa yang hendak dikata oleh seorang pemuda asing Negeri Kincir Angin itu, mentalnya sebagai prajurit mulai bercucuran tak karuan, hanya bisa menghibur diri dengan meneriakkan intruksi-intruksi perang melawan tentara fisabilillah kesultanan Aceh yang rela mati. Gedebum-gedebum meriam yang diledakkan kedua belah pihak kian terbang liar di barisan formasi perang. Bidikan-bidikan senjata mulai di juruskan ke sasaran musuh untuk direnggut nyawanya bak malik maut. Tak perlu ditanya gerilyawan Aceh mengendap-endap ditiang-tiang penyangga Mesjid Raya, sambil sesekali berlari liar meluruskan rencong-rencongnya ke kawanan serdadu Kohler. Tak dipikirkan untuk kembali lagi setelah ia menerjang kawanan anjing gembala itu, cukup menghilangkan satu dua nyawa saja dan tiga bersama dirinya mungkin. Surga yang dicita bukan embel-embel bangsa lain.
Genderang perang kian berokestra menerbangkan debu-debu tanah suci Aceh didalam amukan perang. Kedua kelompok pasukan kian merapat menyulutkan semangat perang dengan argumen masing-masing, yang satu ingin menjajah yang satunya lagi tak mau di jajah. Lelaki yang bergelar jendral itu berdiri gagah melihat tentaranya liar menerjang mangsa. Mesjid raya di sulutkannya dengan si jago merah. Pupus sudah kebanggaan rakyat Aceh, di hancurkan oleh otak-otak berisikan jerami dibakar tak kenal ampun.
Tak tertahan kemarahan fisabilillah itu. Disulutkan mesjidnya. Semangat mereka seolah berkata, tanpa sadar mereka juga telah menyulutkan ku. Semangat perang fisabilillah kian membuncah hati pejuang Aceh, berbagai penjuru datang membantu ketika mendengar pendaratan Kaphe di bumi Serambi Mekkah. Yang muda datang dengan sigap ditemani sejata rakitan hasil buatan semalam, yang tua lari membelah kota dengan rencong tersemat gagah di kedua belah pinggangnya. Yang hawa memberanikan diri, tak tega hati mendengar intip jeritan rintihan dari balik jendela rumah.
Door.. suara tembakan itu terdengar meyakinkan di dalam kecamuk perang di senja itu, bersamaan dengan itu rubuhlah seonggak tubuh kekar berbalut seragam lengkap militer, terkapar dengan subutir peluru yang bersarang di lambungnya. Darah pun ikut menyirami rerumputan kering halaman Mesjid Raya yang mengeluarkan aroma khas bau anyir, mengalir deras tak bisa terhentikan. Dibalikkan tubuh yang telungkup itu oleh serdadu Belanda di antara liarnya peluru-peluru perang yang hilir mudik. Tersemat erat-erat nama di dadanya, Jendral Johan Hermes Rudolf Kohler. Berkedip-kedip mata sayu tak berdaya, sambil bergumam didalam hati, kenapa aku harus ikut dalam peperangan ini, membunuh mereka-mereka yang jelas-jelas ini tanah bunyutnya bukan kepunyaan indatu ku. Wajar mereka liar menerjangku tak berampunkan.
Penyesalan itu kian sirna. Kroook, suara kerongkongannya menghembuskan nafas terakhir di bawah rindangnya pohon ketapang yang akan jadi saksi bisu butir bermesiu menembus lambungnya. Menggelapkan sejuta harapan Kohler durjana, sama dengan cita-cita serakahnya menggelapkan harapan Tanoeh Rincong. Takdir berkata lain, dia yang tergelapkan bersamaan dengan lubang pusara. Meninggalkan sejarah bersama pohon Ketapang.
Teungku Imum Lueng Bata dari kejauhan ditempat persembunyiannya menurunkan perlahan ujung senjata diikuti senyum puasnya. Puas telah membunuh pembunuh, bukan maksud membunuh tapi apa hendak dikata dia hendak membunuh harapan ureung Aceh. Begitu ajaran fisabilillahnya berkobar. Gemetarlah barisan perang serdadu Dutch, induknya mati tak berdaya menyebabkan anakannya melalang buana tak beraturan. Tak terhitung sudah yang mengikuti jejak pemimpinnya, ikut tergadaikan nyawa dengan sebilah pedang dan se onggak rencong berhauskan darah perjuangan. Beberapa diantaranya tumbang dengan lesatnya peluru yang dilepaskan terlatih istana yang megah seantero negri tersebut.

Remuk. Remuk sudah bala tentara keduanya, ada yang perlu dibangga ada yang perlu dihina bersamaan dengan hinanya jalan Kohler  kepusara. Kalau masih ada nyatanya, tanyakan saja pada sejarah dan syajaratun di senja itu.

Untuk Navigasi Lengkap Silahkan Kunjungi Peta Situs



Baca Juga:

Langganan Via Email

Post a Comment

Copyright © | by: Me