Menunggu Dara
(Karya: M
Yusrizal)
Burung kedidi berkicau renyah di atas dahan-dahan
gaharu. Matahari mulai menyinari Gampong Lonranggong, mengeringkan embun di
ilalang, membangunkan ayam dan manusia untuk mengais rezeki. Anak-anak mulai
mengayuh sepeda menuju sekolah. Begitu pula Cutpo Munah, janda gampong, yang
bergegas ke sawah yang padinya mulai menguning.
Aku hanya bisa pasrah terduduk di kursi kayu yang
hampir roboh. Secarik kertas kupegang erat. Kuperhatikan kembali gubuk miring
itu.
“Apa aku harus mengetuk pintu kayunya? Apakah ini
waktu yang tepat untuk meminta bubuhan sidik jari wanita itu di atas kertas
penting ini?” gumam ku dalam hati.
Surat-surat untuknya sudah kukirimkan lewat merpati
putih beberapa pekan lalu. Ya, itu hanya permohonanku agar Dara membukakan
pintu gubuknya dan mempersilahkan aku masuk. Ketika diizinkan masuk dalam istananya,
aku tidak akan minta disuguhkan teh penghangat pagi atau permadani tempat aku
berpijak. Cukup dengan pintu terbuka dan mempersilahkanku melangkah ke dalam
saja.
Semenjak Dara ditalak Kasim, suaminya, yang menikah
dengan tetangga sebelah rumahnya, sejak itu pula Dara menjadi wanita misterius.
Mengurung diri dalam gubuk miring yang bila badai barat menggelitik akan roboh
porak-poranda. Sore Ahad lalu, ketika dara membukakan jendela kamar,
aku sempat melihatnya dari arah jalan ketika aku bersepeda ontel menuju pasar.
Raut wajah terlukis gemuruh yang sedang berkobar dalam hatinya. Sungguh suram
untuk menggambarkan jiwa wanita malang itu. Namun, tetap saja ada segudang
pemikat yang dikandung dalam diri Dara membuat seribu satu lelaki Gampong
Lonranggong patah hati. Tapi entah kenapa, si Kasim gila mencoba berpaling dari
Dara sang idaman jiwa.
“Ucapkan asalamualaikum
sebelum mengetuk pintu kediaman orang, itulah pengukur adabmu dengan sang
penghuni,” pesan teungku.
Ucapan kalimat itu sudah kuhantarkan jauh-jauh hari
dalam surat permohonan yang kubuat. Lumayan lama aku menunggu balasan surat
itu. Hingga akhirnya pada malam Jumat lalu aku menerima secarik kertas dengan
goresan, “Waalaikumsalam, masuklah.”
Maka pergilah aku pagi ini menuju gubuk Dara. Berharap
tapak kaki bisa mencium lantai gubuknya.
Keringat diri mulai menembus pori. Bismillah. Satu persatu anak tangga
rapuh kaunaiki. Hingga aku terpatung di hadapan pintu yang terkunci rapat. Aku
rasa Dara tahu kehadiranku. Ia sempat mengintip dari celah jendela yang
ditembus sinar matahari pagi. Tangan yang siap mengetuk tergantung di udara
lantara ucapan salam disambar jawaban dari penghuni gubuk, Dara.
“Maaf Husen, aku sudah tidak kuasa membuka pintu ini.
Maafkan aku. Lekaslah engkau berbalik pulang. Jangan lagi engkau menguras
tenaga bertapa di depan rumahku. Sekali lagi, maafkan aku.” Suara Dara terdengar parau dari balik pintu. Luruh
sudah air bening yang menggenang di pelupuk mata. Kuatlah wahai lelaki. Aku bergumam agar tidak terisak meratapi.
Dara sudah layaknya penyihir yang sedang memupuk racun
pengekang nyawa untukku. Jauh hari sebelum ia dilamar Kasim, aku sudah menoreh
kekaguman terhadapnya. Wanita manis peneduh jiwa. Dan kini aku tertunduk layu
di depan pintu gubuknya. Secarik kertas yang aku pegang jatuh dan disambar
angin pagi untuk diterbangkan sesuka hati.
Mendengar ucapan itu, seakan bumi sedang menghujam
ragaku. Asaku ingin masuk dan menuai cinta sang Dara tak seindah kalimat ‘Waalaikum sama, masuklah’ yang dihantar merpati kepadaku. Satu hal, aku
tidak pernah menuntut tanya akan persoalan itu pada Dara. Aku hanya menganggap
suratnya itu tertulis ketika ia sedang ngigau atau memang benar adanya.
“Kapan aku bisa masuk, Dara?” tanyaku penuh harap.
“Aku tidak tahu. Gubukku masih digembok Kasim.” Dara
menjelaskan terbata-bata di balik pintu.
***
Semenjak kejadian hari itu, aku terus memandang gubuk
miring yang dihuni Dara. Pohon gaharu
yang rindang di depan rumahnya cukup membuatku teduh. Terduduk penuh harap di
kursi kayu yang juga hampir menuai ajal.
Kertas permohonan yang kutuliskan bersama malaikat di
suatu pagi masih kugenggam dalam peluk. Ya, permohonan untuk Dara agar membuka
hati karena aku terlanjur meneguk cinta yang ditabur Ilahi Rabbi.
Apa kalian pikir setelah Dara menyuruhku pulang dengan
gampangnya aku berbalik arah lalu mengayunkan langkah meninggalkan gubuk ini?
Tidak semudah itu kawan. Atau dengan gampangnya aku merusak pintu itu? Tidak
kawan, aku tidak sejahanam itu. Lantas apa yang engkau lakukan wahai lelaki?
Aku akan menunggu di sini. Jangan tanyakan sampai kapan.
Dari celah bilik aku bisa menangkap mata Dara
mengamatiku yang hampir mati didera matahari serta ditusuk dingin malam di
bawah gaharu. Badan semakin menyusut. Rambut kusut seperti tumpukan jerami,
sama gambarannya dengan jiwa yang bergaduh di dalamnya. Ketika Dara mendera
jiwa untuk Kasim, aku sedang menghukum jiwa untuk terkubur bersama jiwa sang
Dara. Saban malam aku harus menikam hati ketika ia meronta-ronta didera rindu.
Dari bisik-bisik warga Gampong Lonranggong yang
melewati gubuk miring Dara, mereka sudah menggelarkan aku si ‘Husen Gila’.
Bagaimana tidak, aku seperti petapa di bawah gaharu sambil memutuskan nadi-nadi
raga dengan ranting kering. Berharap aku cepat-cepat meninggalkan bumi. (syr)
Cerpen ini pernah dimuat di Media Warta Unsyiah (Majalah) pada edisi Agustus 2018.
http://humas.unsyiah.ac.id/2018/09/10/warta-edisi-agustus-2018/
Untuk Navigasi Lengkap Silahkan Kunjungi Peta Situs
Post a Comment