LAPAK BACA GRATIS
SEBAGAI SOLUSI DARI HUKUM TEMBAK
MATI DI TEMPAT
(Oleh: M Yusrizal)
(Expo PKA di Banda Aceh 2018)
Beginilah sebuah kisah nyata terjadi di Bumi Aceh.
Tanoh Abee adalah salah satu dayah di Aceh, dengan jarak ± 50 km dari kota
Banda Aceh. Di sinilah pada abad 16 sampai abad 19 Masehi ilmu Agama Islam
dengan ilmu umum berkembang cukup pesat, maka tidak ayal Dayah Tanoh Abee
menjadi sentral pendidikan di kawasan Asia Tenggara pada masanya. Tanoh Abee
banyak melahirkan pemimpin-pemimpin besar yang mengantongi bekal berbagai
bidang ilmu pengetahuan, hal ini bermusabab Tanoh Abee tidak hanya mencekoki
murid-muridnya dengan ilmu agama saja. Semisal di Tanoh Abee diajarkan Ilmu
Fikih (hukum Islam) termasuk juga Fikih Dusturi (hukum tata negara), Fikih
Dualy (hukum internasional), Sejarah (termasuk sejarah Islam dan sejarah
dunia), Akhlak/Tasawuf, Hisab dan Ilmu Falak, Filsafat/Ilmu Kalam,
Mantik/Logika, Tafsir dan Ilmu Hadis. Pendidikan di Tanoh Abee dikenal hampir
ke seluruh dunia berkat perpustakaan lengkap yang dimiliki, dengan memesan
buku-buku dari berbagai negara hingga ke Timur Tengah dan Turki.
Kalender Petaka di
Nusantara
Petaka pun datang menghadap, Belanda yang bertujuan
mencari Gold, Glory, Gospel (3 G) mulai menancapkan kekuasaannya di
Nusantara pada tahun 1816, termasuk Aceh yang baru berhasil dikuasai Belanda
pada 1873 dan kawasan pendidikan di Tanoh Abee dibumi hanguskan Belanda. Perpustakaan
yang menjadi rujukan dari para ilmuwan kawasan Asia Tenggara pun seketika jadi
debu-debu halus berbau tinta gosong. Sungguh ini sebuah petaka besar bagi
peradaban Nusantara, dan Aceh khususnya.
Kekuasaan Belanda di Aceh semenjak 1873-1942 telah
berhasil mengotak-ngotakkan pendidikan agama dengan pendidikan duniawi. Belanda
mencoba menggiring untuk melahirkan pendidikan yang hanya berpusat pada agama
semata (ortodok), sedang pendidikan umum tidak perlu dipelajari. Seseorang yang
mempelajari pelajaran umum ia akan menjadi kafir, begitu doktrin yang
dibangun Belanda. Betapa berhasilnya politik Devide et Impera (politik
pecah belah, adu domba) yang telah diracik oleh intelijen kelas kakap Belanda,
Snouck Hurgronje namanya. Tutup cerita punahlah peradaban pendidikan di Bumi
Aceh, Nusantara Umumnya.
Belanda angkat kaki dari Nusantara pada tahun 1942, datanglah
Saudara Tua kita Jepang dengan slogan 3A, Nippon Cahaya Asia; Nippon Pelindung
Asia; dan Nippon Pemimpin Asia. Para Ulama dan Umara di Aceh begitu gagah
datang ke Malaysia untuk menjemput Jepang agar segera masuk ke Aceh untuk
mengejar Belanda, sebab mereka tergiur dengan slogan Saudara Tua. Tiga setengah
tahun Jepang di Indonesia militernya berlaku tidak selayaknya kolega melainkan
rival yang memperlakukan rakyat Indonesia agar menjadi budak baik terhadap
kekaisaran Jepang. Betapa terpuruk Indonesia.
Sepulangnya Jepang sebab tidak tega melihat bangsanya
di Hiroshima dan Nagasaki dibumi hanguskan dengan bom atom oleh sekutu pada 06
dan 09 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus
1945, dan Aceh adalah provinsi yang setia di dalamnya. Merdeka Indonesia tidak
serta-merta rakyat merdeka seutuhnya, revolusi kemerdekaan kembali terjadi
dimulai pada 1945-1949 yang dimusababkan kehadiran kembali Belanda untuk
menguasai Indonesia. Konferensi Meja Bundar (KMB) pun berlangsung pada tahun 1949
dan Belanda diharuskan angkat kaki sepenuhnya dari Indonesia. Dengan berat hati
Belanda pulang ke Negeri Kincir Angin miliknya di Eropa sana.
Seiring sibuknya Indonesia menghadapi masa Revolusi
Kemerdekaan, Aceh malah bertengkar dalam rumah sendiri. Perang saudara yang
dikenal dengan Perang Cumbok berkecamuk di Bumi Aceh selama tahun 1946-1947.
Perang ini merupakan hasil busuk dari politik Devide et Impera yang
diracik Belanda selama di Aceh, dan benar saja politik ini berhasil membuat
pihak Ulama yang berada di bawah Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) berantuk
pedang dengan pihak Umara yang berada di bawah perhimpunan Ulee Balang. Perang
saudara yang memilukan kembali menangiskan Aceh.
Seakan-akan Indonesia tidak bosan-bosannya memikul
beban. Paham komunis pun muncul, yang hendak menggerogoti Pancasila sebagai
dasar Negara Indonesia. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia secara
besar-besaran terjadi pada 18 September 1948 di Madiun, serta pada 30 September
1965 dengan membunuh 7 perwira TNI Angkatan Darat di Lubang Buaya. Kekacauan
dalam negeri pun terjadi.
Cumbok dan PKI berlalu Aceh kembali dalam ranah perang
yang digiring oleh Daud Bereueh. Lelaki ini hendak mendirikan Darul Islam
(Negara Islam) dengan melakukan pemberontak Darul Islam Tentara Islam Indonesia
(DI-TII) yang telah diproklamasikan pada 20 September 1953. Tidak berlangsung
lama, Aceh yang pada hakikatnya setia dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) berhasil dibujuk oleh pemerintah pusat agar tidak melakukan makar dengan
Indonesia, maka redamlah DI-TII di Aceh dengan tidak banyak mengundang petaka.
Setelah Daud Bereueh diam kini giliran Hasan Muhamad
di Tiro yang ikut bersuara meminta keadilan pada pemerintah pusat. Dalih punya
dalih Indonesia meng-Anak Tiri-kan Aceh, entahlah. Maka tidak berpikir panjang
Hasan Tiro mendeklarasikan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 04
Desember 1976 di dalam Pegunungan Halimun, Pidie. Menilik dari kapasitas GAM
memang sebuah gerakan yang telah dimatangkan di Tripoli Libya, tempat didikan
militer pemberontak terkemuka. Senjata-senjata api berbagai kaliber pun
kebanyakan dipasok dari negara Muammar Khadafi tersebut. Janda-janda serta anak
yatim banyak dijumpai di Aceh, pembantaian sudah menjadi hal yang lumrah
ditemukan di Serambi Mekah, sekolah-sekolah banyak yang menjadi arang, rakyat
mengungsi ke barak-barak penampungan untuk menjauh dari basis kontak senjata
TNI dengan GAM. Memasuki desa-desa di Aceh pada masa itu seperti memasuki medan
pertempuran yang kapan saja peluru panas bisa menembus kepala.
Di sela-sela dentuman senjata antara TNI dan GAM, Aceh
kembali dirundung pilu. Gempa yang berkekuatan 9,2 sampai 9,3 skala righter
mengguncang Aceh yang kemudian disusul dengan gelombang tsunami yang maha dahsyat.
Luluh-lantaklah daratan Aceh terkhusus Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi.
Ribuan nyawa melayang seketika, berdasarkan data Media Center Lembaga Informasi
Nasional (LIN) korban meninggal sebanyak 166.080 jiwa. Seketika mata dunia
tertuju pada Aceh, negara-negara dari belahan bumi menitikkan air mata melihat
anak-anak Aceh kelaparan di jalan-jalan, rumah-rumah hancur berantakan, sekolah
dan rumah ibadah sudah tak berwujud, puing-puing bangunan menutupi jalan,
jembatan putus, aliran listrik padam, dan mayat-mayat yang bergelimpangan di
jalan-jalan mulai mengeluarkan bau busuk sebab tak terurus. Menangislah jagat
raya melihat Aceh. Non Governmnet Organization (NGO) dengan rasa kemanusiaannya
hendak membangun Aceh dari keterpurukan, namun itu bukanlah hal yang mudah
sebab pertikaian antara GAM dengan NKRI akan menjadi momok menakutkan bagi
relawan NGO yang hendak membenah Aceh. Akhir cerita petinggi GAM sepakat untuk
berdamai dengan NKRI dengan penanda tanganan MoU Perdamaian di Helsinki pada 15
Agustus 2005 dan Aceh kembali berbaik dengan Indonesia.
Kehadiran NGO asing di Aceh memberi dampak positif
untuk pulihnya Aceh. Rumah-rumah sekolah yang hancur kembali berdiri, jalanan
yang rusak juga diperbaiki dengan setulus hati, bagi mereka-mereka yang
rumahnya hancur tak bersisa disapu gelombang kembali dibangun, mental anak-anak
yang trauma karena salah satu atau kedua orang tuanya meninggal dunia kembali
membaik, dan pastinya generasi-generasi Aceh ini bisa bersekolah dengan aman
tanpa gangguan dari letupan senjata yang menghantui psikis anak-anak malang
ini.
Lima Belas Tahun Aceh Tenteram
Penulis teringat dengan sebuah kejadian pengeboman Hiroshima
dan Nagasaki pada 06 dan 09 Agustus 1945 oleh sekutu. Sesudah bom dijatuhkan
dan menelan banyak korban, kaisar Jepang, Hirohito, segera mengeluarkan sebuah
pertanyaan, berapa jumlah guru yang tersisa? Hal tersebut menggambarkan
bahwa sebuah negara atau sebuah daerah bisa dibangun dengan pendidikan yang
kemudian akan melahirkan Sumber Daya Manusia yang handal. Hal tersebut
terbukti, bahwa Jepang bisa kembali bangkit dan negara Sakura ini menjadi salah
satu negara maju di dunia pada abad-21.
Tidak terasa, Aceh sudah beranjak jauh meninggalkan
jejak sejarah berdarah di belakang. Penanda tanganan MoU Helsinki seolah-olah
keramat untuk menuju Aceh yang lebih baik. Masyarakat Aceh yang dulunya
tertinggal dari segala aspek kehidupan kini beranjak menuju Aceh yang lebih
baik ke depannya. Kini saatnya Aceh harus berbenah dengan cara Jepang, provinsi
terbarat Indonesia ini harus mengedepankan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk
mengejar ketertinggalan peradaban dari tinta-tinta sejarah kelam tempo hari.
Dan penulis kembali teringat dengan slogan membaca adalah jendela dunia,
hal ini memang benar adanya dan memang begitu caranya. Untuk pintar kita harus
belajar, dan untuk belajar kita harus membaca, dan buku adalah kuncinya. Baiklah,
sebelum kita membahas lebih jauh mengenai membaca alangkah baiknya kita sedikit
mengkaji persentase minat membaca masyarakat Indonesia.
Persentase Minat Baca
Masyarakat Indonesia
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan kedua dari bawah mengenai
literasi dunia, dalam artian minat baca sangatlah rendah. Data yang diperoleh
UNESCO bahwa bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari
1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang rajin membaca (kominfo.go.id
(online) 23/072019). Sedangkan survei menurut World's Most Literate Nations
yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) dan diumumkan
pada Maret 2016, menunjukkan bahwa minat baca Indonesia berada di ranking 60
dari 61 dari negara yang dilakukan survei, berada satu tingkat lebih baik
ketimbang Botswana di peringkat 61. Sungguh miris melihat angka-angka tersebut,
walau angka-angka survei yang disajikan penulis rasa tidak sepenuhnya tepat.
Namun hal yang perlu kita sadari sama-sama bahwa minat baca masyarakat
Indonesia memang rendah.
Menumbuhkan Budaya
Membaca
Dari persentase yang telah tersajikan di atas jelas
nyatanya bahwa Indonesia jauh dari aman untuk dikategorikan sebagai negara
dengan minat membaca tinggi. Hal tersebut menjadi sebuah permasalahan serius
yang harus cepat-cepat diambil jalan keluarnya. Salah satu jalan yang harus
ditempuh adalah menumbuhkan budaya malu tidak membaca dan menghilangkan budaya
malu membaca. Caranya bagaimana? Yaitu dengan memudahkan masyarakat untuk
mengakses buku-buku bacaan sehingga mindset masyarakat akan berubah
bahwa membaca bisa dimana saja dan kapan saja (tidak sambil
menyetir atau keadaan yang membahayakan keselamatan).
Banda Aceh Lautan Buku
Kembali lagi ke Aceh, tepatnya kita akan melihat Kota
Banda Aceh, kota yang pernah diluluh lantakkan oleh tsunami maha dahsyat 2004
silam. Ada hal-hal baru yang kini hadir di Kota Madani ini, dimulai dari
infrastruktur, pendidikan, dan sosial kebudayaan. Hal yang perlu diapresiasi
untuk Banda Aceh adalah hadirnya pegiat literasi yang terus mengampanyekan pada
masyarakat agar buku dijadikan bahan konsumsi kepala. Di tempat-tempat
keramaian para komunitas literasi kian marak menggelar lapak-lapak baca secara cuma-cuma.
Lapangan Blang Padang misalnya, sebagai pusat keramaian Kota Banda Aceh yang
dimanfaatkan masyarakat sebagai sarana berolahraga maupun berburu makan, lapak
baca gratis tidak mau kalah dengan para pedagang, mereka sangat bersemangat
menjajakan buku-buku bacaan hampir di setiap pinggir lapangan. Nyatanya
sekarang, animo masyarakat untuk membaca di Banda Aceh sudah mulai merangkak
naik. Orang-orang tidak merasa malu minum kopi sambil membaca buku, menikmati
Mie Aceh sambil menyibak-nyibak halaman buku, membaca buku di sela rehat
berolahraga, serta membaca buku di sela-sela kegiatan hari-hari. Sebuah
kebudayaan positif mulai berkecambah di Kota Banda Aceh, dan ini patut dicontoh.
Salah satu Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang bergerak
di bawah Lembaga Pendidikan Rumah Baca Aneuk Nanggroe (RUMAN) Aceh telah
menyebarkan virus membaca terhadap masyarakat Aceh dengan telah meminjamkan
12.630 bahan bacaan secara gratis. Selain itu, RUMAN juga menerima sumbangan
sebanyak 2.963 bahan bacaan dari dalam dan luar Aceh. Salah satu kegiatan yang
dilakukan RUMAN adalah dengan menggelar Minggu Baca Rame-Rame (MIBARA) yang
digelar di Lapangan Blang Padang sebagai pusat perkumpulan masyarakat Banda
Aceh. Tentunya Lapak baca MIBARA selalu penuh disesaki pengunjung, dan saya
penulis salah satunya.
Beranjak dari RUMAN Aceh, ada puluhan komunitas pegiat
literasi lainnya di Banda Aceh, di antaranya ada Ruang Baca (RB). Komunitas
literasi ini pada awalnya berdiri di Langsa pada 2018, kini mulai hadir di
beberapa daerah di provinsi Aceh, seperti halnya di Lhokseumawe, Pidie, dan
Banda Aceh. Hal tersebut bisa berjalan dikarenakan tingginya animo masyarakat
untuk membaca dan semangat para pegiat literasi dari berbagai daerah di Aceh
untuk terjun langsung menjajakan buku gratis dengan tujuan akan dibaca oleh siapa
saja. RB di Banda Aceh banyak melakukan kerja sama dengan pihak instansi
pemerintah demi mendapatkan dukungan berupa sumbangan buku bacaan. Tidak
menunggu lama setelah RB Banda Aceh didirikan pada awal 2019, komunitas ini
langsung terjun memberikan aksi nyata dengan membuka Lapak Baca Gratis di Blang
Padang, Hutan Kota Banda Aceh, Car Free Day Kota Banda Aceh, dan di beberapa
tempat keramaian lainnya di seputaran Banda Aceh dan Aceh Besar. Apa yang telah
dilakukan oleh RUMAN dan Ruang Baca juga dilakukan oleh komunitas literasi
lainnya di Banda Aceh, seperti Rumah Relawan Remaja yang telah membuka lapak
baca gratis di kota Banda Aceh bahkan hingga ke desa pedalaman provinsi Aceh.
Pegiat literasi di Banda Aceh juga sudah melakukan hal
yang lebih menarik lagi dibandingkan hanya dengan membuka lapak gratis di
kawasan keramaian. Para pegiat literasi mulai masuk Bus Trans Kutaradja yang
beroperasi mengantar jemput penumpang dalam Kota Banda Aceh maupun Aceh Besar. Nama uniknya Pustaka Berjalan/Jalan-Jalan. Buku-buku
yang dibawa kemudian disodorkan kepada setiap penumpang untuk dibaca secara
cuma-cuma selama dalam perjalanan, kurun waktu setengah jam atau satu jam. Bukankah
itu waktu yang lumayan apabila dihabiskan untuk membaca, ketimbang hanya duduk
melamun di dalam bus yang sedang mengantre dalam kemacetan lampu merah. Alangkah
indah jika hal demikian juga digalakkan di setiap ruang antre pada
instansi-instansi pemerintah, dengan disediakan lemari buku yang edukatif,
sehingga tidak ada istilah waktu menunggu itu terbuang sia-sia, dan penulis
rasa sudah banyak instansi pemerintah yang melakukan hal demikian.
Dengan kehadiran pegiat literasi di tengah-tengah
aktivitas masyarakat hal tersebut akan menumbuhkan animo masyarakat dalam
membaca buku sebagai bekal membuka jendela-jendela dunia. Merujuk pada
rendahnya minat baca masyarakat Indonesia maka hal yang harus dilakukan adalah
melakukan metode Jemput Bola, dalam artian pihak-pihak pegiat literasi, akademisi
maupun pemerintah harus terjun langsung menyodorkan buku-buku kepada masyarakat
untuk dibaca, tentunya dengan cara dan kapasitas masing-masing pihak.
Kita tidak bisa hanya memangku tangan melihat
Indonesia dalam keadaan darurat membaca, sebab darurat membaca lebih berbahaya
dibandingkan dengan darurat kelaparan. Tidak berlebihan, penulis beranggapan
orang-orang yang tidak membaca buku mereka bisa saja hidup, tetapi tidak
bernyawa.
Metabolisme Buku
Makhluk hidup pada hakikatnya diharuskan untuk mengkonsumsi
makanan, sebab makan untuk hidup, bukan sebaliknya. Siklus makanan yang
masuk dalam tubuh manusia kira-kira hemat ilmunya begini; makan-dicerna-keluar (feses).
Semakin banyak kita makan semakin banyak pula yang kita keluarkan, begitu juga
sebaliknya, dan bayangkan seandainya manusia tidak makan maka dia tidak
mengeluarkan apa-apa, jikalau dalam jangka waktu lama ia akan mati sebab tidak
pernah memasukkan makanan dalam mulutnya, sungguh tragis.
Penulis beranggapan, siklus membaca tidak jauh beda
dengan siklus pencernaan makanan pada makhluk hidup. Semakin banyak seseorang
membaca semakin terdesak pula seseorang untuk mengeluarkan apa yang telah
dicerna mengenai isi buku yang telah ia baca. Sebalik dari itu, seseorang yang
sedikit membaca buku maka semakin sedikit pula pemikiran atau pengetahuan yang
akan ia keluarkan. Hal yang lebih tragis adalah andai seseorang tidak membaca buku
samasekali, bayangkan ia akan mati, pemikirannya. Manusia dilahirkan bukan
semata-mata untuk mengisi perut saja, namun kepala juga harus menjadi organ
primer yang harus dilayani konsumsinya, buku.
Ada bermacam-macam cara bagaimana seseorang menuangkan
pemikiran atau keilmuannya, ada yang menjadi akademisi sebagai tenaga pengajar
di sekolah maupun perguruan tingg; ada pula yang menjadi penulis lepas untuk
menuangkan keilmuannya lewat tinta; ada pula dengan cara kedua-duanya. Untuk
menjadi seorang akademisi tentunya memerlukan sebuah proses yang panjang, namun
untuk menjadi penulis saya rasa itu hal yang mudah, setidaknya jadi penulis
rangkuman untuk catatan pribadi setelah membaca. Bayangkan tiap seseorang
yang telah menamatkan satu buku ia akan mempunyai sebuah tulisan sekurang-kurangnya
sebuah artikel ilmiah atau resume dari buku tersebut. Seandainya ia telah
menamatkan beberapa buku atau belasan buku ia akan bisa menulis satu buku
sendiri, apa ini tidak fantastis. Namun itu semua tergantung bagaimana sikap
kita memandang besarnya pengaruh dan efek dari membaca.
Banda Aceh Terselamatkan
dari Bom Atom
Hadirnya komunitas-komunitas pegiat literasi di Kota
Banda Aceh diharapkan akan berpengaruh pada tumbuh dan berkembangnya minat baca
masyarakat Kota Banda Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Setiap
provinsi dan kabupaten kota di seluruh Indonesia alangkah baiknya mengadopsi
aksi Lapak Baca Gratis di setiap sudut kota, apabila perlu Lapak Baca
Gratis juga harus digalakkan ke setiap desa nantinya.
Dengan tumbuhnya minat membaca di Aceh diharapkan Aceh
bisa terselamatkan dari keterpurukan tempo dulu, dan Indonesia nantinya bisa
beranjak mengikuti jejak Jepang sebagai negara maju. Indonesia kelak akan
melahirkan perpustakaan-perpustakaan serupa Perpustakaan Tanoh Abee yang telah
dihanguskan Belanda tempo dulu. Buku-buku karangan anak negeri akan berdesakan
di rak perpustakaan menunggu giliran untuk dikhatamkan satu per satu oleh
pembaca. Salah seorang penulis Aceh, Arafat Nur dalam novelnya yang berjudul “Lampuki”
menuangkan buah pikir yang berbunyi, untuk mencerdaskan orang-orang di Aceh
(Indonesia) pemerintah harus memberlakukan hukum Tembak Mati di tempat bagi
siapa saja yang tidak membaca. Penulis rasa, hadirnya pegiat literasi sebagai
Praktik Baik Literasi Masyarakat dengan aksi membuka lapak baca gratis di
tengah-tengah masyarakat, rakyat Indonesia akan terbebas dari hukum tembak mati
di tempat bagi siapa saja yang tidak membaca. Kira-kira begitu tafsirnya.
Banda
Aceh, 24 Juli 2019.
REFERENSI
Referensi Buku
Alfian
T., Ibrahim dkk. 1982. Revolusi
Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949). Banda Aceh: Museum Negeri Aceh.
Jakobi, A.K. 2004. Aceh
Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Reid, Anthony. 2012. Sumatera; Revolusi dan Elite Tradisional. Jakarta: Komunitas Bambu.
Saleh,
Hasan. 1992. Mengapa Aceh Bergolak:
Bertarung Untuk Kepentingan Bangsa dan Bergabung Untuk Kepentingan Daerah. Jakarta:
PT Pustaka Utama Grafiti.
Untuk Navigasi Lengkap Silahkan Kunjungi Peta Situs
Post a Comment