-->

Merawat Sejarah di Tanah Syariat



Merawat Sejarah di Tanah Syariat
(Oleh: M Yusrizal)

Aceh menjadi kawasan terakhir di Indonesia yang berhasil dikuasai oleh Belanda (ekspansi yang lambat). Tepat pada 26 Maret 1873 kawasan ter barat Indonesia ini digempur secara habis-habisan oleh anak-anak Negeri Kincir Angin. Berkat kegigihan serdadu Belanda, Aceh takluk pada Belanda tanggal 20 Januari 1903, dengan menandatangani korte verklaring (surat pernyataan menyerah/kerja sama dengan Belanda) oleh Sultan Muhammad Daud Syah (Sultan terakhir Kesultanan Aceh Darussalam). Menyerahnya Kesultanan Aceh bukan berarti redamnya pergerakan melawan Belanda di Aceh. Laskar Aceh yang telah dirasuki semangat jihat fi sabilillah (berperang di jalan Allah) melalui syair Hikayat Prang Sabi masih terus menggerakkan perang di tiap-tiap mukim melalui aksi poh kaphe (pembunuhan Belanda dengan spontan/tanpa diintruksi), hingga akhirnya Belanda enyah dari Indonesia pada Maret 1942. Perlu digaris bawahi, rentan waktu dari tahun 1873-1942 adalah masa peliknya perang Belanda di negeri jajahannya, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).

Mr. H.C. Zentgraaff seorang wartawan asal Belanda yang meliput serta melihat langsung keganasan perang Belanda dengan Aceh, menggambarkan bahwa perang Aceh adalah perang terlama dan perang yang merogoh kas kerajaan pimpinan Ratu Wilhelmina, Belanda. Benar katanya, Hikayat Prang Sabi merupakan amunisi yang telah membunuh ribuan tentara Belanda di tanah Serambi Mekah. Tak tanggung-tanggung, pada tanggal 14 April 1873, pukul 08.30 pagi Mayor Jenderal J.H.R. Koehler tewas diterjang timah panas yang diletupkan salah seorang dari pasukan Aceh, jasad Koehler terbujur kaku bersimbah darah, dadanya dilubangi peluru keramat Teungku Imum Lung Bata. Sekiranya begitu gambaran singkat perang melawan Belanda di tanah Aceh, nyawa jendral lawan dianggap murah di sini.


(Gambar Kuburan Kerkhoff. Koleksi  Pribadi, 16/11/2019)

Dimana bukti kebenaran?
 
Menjawab pertanyaan demikian tentunya kita harus melakukan lawatan kesejarahan ke situs sejarah Kerkhoff-laan (dalam bahasa Belanda berarti kuburan atau halaman gereja), atau sekurang-kurangnya mari sejenak kita membaca historiografi (tulisan sejarah). Kerkhoff merupakan sebuah komplek kuburan Belanda yang terletak tepat di Jantung Kota Banda Aceh (dulunya Kutaraja). Selain dikenal dengan nama Kerkhoff, komplek perkuburan ini juga dinamakan dengan sebutan Peutjut, lantaran dikomplek Kerkhoff ini terdapat kuburan anak Sultan Iskandar Muda yang dihukum mati lantaran melanggar aturan syariat. Peutjut sendiri dalam bahasa Aceh awalnya disebut dengan kata Pho-teu (raja) dan kata tjoet (kecil), seiring perjalanan masyarakat menyebunya dengan sebutan Peutjut untuk komplek Kerkhoff ini. Di sinilah bersemayam lebih kurang 2.200 mayat tentara Belanda, dari berpangkat serdadu hingga jenderal. Tidak hanya tentara Belanda, mayat-mayat marsose yang tewas di tanah Aceh juga turut dimakan tanah komplek Kerkhoff.

Ada hal unik dari Kerkhoff Banda Aceh, dalam komplek kuburan ini bersemayam pula warga Belanda keturunan Yahudi yaitu Deborah Bulchover serta keluarganya. Menurut penuturan Teuku Cut Mahmud Aziz (media cetak Serambi Indonesia, 28 Juli 2018) bahwa ada 24 makam Yahudi di Kerkhoff. Selain itu, di tanah Kerkhoff berseyam seorang putra Sultan Iskandar Muda yang dihukum mati lantaran tuduhan berzina. Kompleks sudah komplek Kerkhoff dihuni oleh jasad-jasad yang secara rohani berbeda dengan masyarakat Aceh yang notabene bersyariat Islam. Kerkhoff dibangun oleh pemerintahan Belanda tidak jauh jaraknya dari Masjid Raya Baiturrahman sebagai episentrum perkembangan syariat di Aceh  dari masa ke masa, serta tidak jauh pula dari bekas Kerajaan Aceh Darussalam (diindikasikan bekas Kerajaan Aceh berada di Komplek Pendopo Gubernur Sekarang). Jika ditarik garis, Kerkhoff dihimpit oleh Masjid Raya dan Pusat Kerajaan Aceh dengan jarak berkisar 300-400 meter.
(Gambar Kuburan Kerkhoff. Koleksi  Pribadi, 16/11/2019)
Beranjak setelah putra-putra Wilhelmina (Belanda) serta putra Kaisar Hirohito (Jepang) pulang kampung, Kerkhoff masih bertahan sebagai situs bersejarah di pusat Kota Banda Aceh. Indikasi-indikasi pengrusakan terhadap nisan berlambangkan salib serta nisan berlambangkan Yahudi awal-awalnya pernah terjadi (Kompas.com, 11 Juli 2018). Tentunya oknum-oknum tersebut merasa enggan akan kehadiran komplek kuburan Kerkhoff di tengah-tengah aktivitas masyarakat bersyariat Islam. Mereka-mereka yang berpikir spontanitas dan berjangka pendek tersebut hanyalah segelintir orang saja yang secara sembunyi-sembunyi merusak nisan-nisan Belanda sebagai musuh kronis moyangnya. Desas-desus pemerintahan Banda Aceh pun pernah terdengar bahwa hendak memindahkan komplek Kerkhoff agar tidak lagi berada di pusat kota. Hemat penulis, bahwa Kerkhoff yang nisan-nisannya bersimbol kristen maupun Yahudi bukanlah suatu permasalahan yang berujung pada rusaknya akidah Keislaman di Aceh, malahan itu menjadi sebuah oksigen persatuan yang ditinggalkan generasi terdahulu dalam melawan penjajahan di tanah Indonesia.

Perlu  diapresiasi, sampai dengan tahun 2019 Kerkhoff masih terawat dan menjadi salah satu situs sejarah yang wajib dikunjungi bila bertandang ke Banda Aceh. Memasuki pekarangan Kerkhoff tentunya kita akan bernostalgia akan kehebatan para pejuang tempo dulu dalam melawan Belanda, tulang-belulang serta nisan-nisan yang tertancap di tanah Kerkhoff menjadi  saksi bisu yang patut untuk  dirawat bukan dimusnahkan. Sebagai Cagar Budaya Indonesia, nisan dan tulang belulang inilah yang nantinya  akan bersuara pada anak cucu kita bahwa sejarah kehebatan perang Aceh memang benar adanya, bukan dongeng. Jika Kerkhoff dimusnahkan seberapa yakin kita bahwa generasi bangsa  100 tahun kedepan akan percaya  kisah epos yang mengisahkan kehebatan pejuang Aceh menerjang barisan tentara Belanda. Maka  yakinlah Kerkhoff  yang menjadi sumber primer sejarah yang akan bersuara pada dunia bahwa kita bangsa Indonesia bukanlah budak baik Belanda yang patuh dan tunduk tanpa melakukan perlawanan.

(Gambar Kuburan Kerkhoff. Koleksi  Pribadi, 16/11/2019)

Peutjut Fonts Assotiation
Saat ini Kerkhoff diurus oleh sebuah yayasan dari Belanda bernama Peutjut Fonts Assotiation. Yayasan ini terus memberikan dana untuk perawatan komplek Kerkhoff Banda Aceh tiap tahunnya. Ketua Yayasan Peutjut Fonts Assotiation, Mr. R.J.N. Nix, dalam dialog dengan penulis, mengemukakan bahwa ia sangat senang terhadap masyarakat Aceh yang bisa menerima kehadiran Kerkhoff sebagai situs bersejarah yang patut dijaga dan dilestarikan. Menurutnya, Kerkhoff  adalah sebuah terowongan yang bisa menghubungkan sejarah generasi terdahulu dengan generasi sekarang (baik Indonesia maupun Belanda) untuk sama-sama bisa menjaga perdamaian dunia (Wawancara, 16 November 2019). Tidak hanya Kerkhoff yang perlu kita lestarikan, namun ada seribu satu situs cagar budaya Indonesia lainnya yang juga perlu dirawat, agar situs ini nantinya bisa terus hidup bersama generasi Indonesia kedepannya.


Sumber:
Bezoekersgids Militaire Erebegraafplaats Peutjut Visitors' Guide Military Cemetery of Honour Peutjut (Buku Panduan Kuburan Militer Peutjut). 2007. Stichting Peutjut-Fonts: Banda Aceh.

Syamsuddin, Nazaruddin. 1998. Revolusi di Serambi Mekkah. Jakarta: Penerbit UniversitansIndonesia.

(Gambar Kuburan Kerkhoff. Koleksi  Pribadi, 16/11/2019)
(Gambar Kuburan Kerkhoff. Koleksi  Pribadi, 16/11/2019)

(Gambar Kuburan Kerkhoff. Koleksi  Pribadi, 16/11/2019)


(Gambar penulis dengan Ketua Yayasan Peutjut dari Belanda, Mr. R.J.N Nix)



Ayo kita berpartisipasi dalam kompetisi "Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah".









Untuk Navigasi Lengkap Silahkan Kunjungi Peta Situs



Baca Juga:

Langganan Via Email

Post a Comment

Copyright © | by: Me