"Di sini aku tidak ingin berdebat perihal cinta, perihal agama, serta perihal jalan hidup yang masih dirahasiakan Pemilik Semesta Raya. Aku hanya sedang berdebat dengan Geunaseh, perihal tugasku yang katanya aku telah abai.”
Melalui sambungan telefon
engkau marah besar terhadapku. Beberapa pucuk permintaan yang kutangkap sebagai
ultimatum engkau tumpahkan begitu saja untukku.
“Kenapa kamu tidak menulis
lagi, Bang?” tanyamu dengan nada ketus.
“Masih. Aku masih menulis,”
jawabku membela diri.
“Di mana? Aku tidak pernah
lagi melihat tulisan-tulisanmu muncul di blog, atau melintas di beranda media
sosial.!” ujarmu. Sepertinya raut wajahmu di belahan bumi sana masih berduka atas
kematian tulisan-tulisanku. Maksudku, atas tulisanku yang hilang kabar entah ke
mana.
“Aku masih menulis, tulisan-tulisan
itu masih terendap di dalam perangkat kerja (PC dan Android)” aku mencoba
menjelaskan.
Benar saja, engkau memang
keras kepala—agar kamu tahu saja, aku semakin suka dengan kepalamu yang
“keras” itu. Engkau semakin menjadi-jadi mencercaku, mengatakan bahwa
sikapku yang demikian merupakan suatu kesalahan besar yang kuperbuat terhadapmu.
“Aku selalu memantau lewat
jejaring, menanti-nanti kapan engkau menulis lagi,” ucapmu, mengakui bahwa
sedang kehausan, ingin sekali meneguk tulisan-tulisanku. Memang, aku sedang paceklik
melakukan publikasi tulisan tentangmu.
Tidak pun kuakui, engkau sudah
cukup paham bahwa aku dilahirkan ke bumi ditugaskan untuk menulis kisah tentangmu.
Aku tidak ingin menyebut itu kutukan, sebab, tugas yang kuemban itu adalah
suatu kesyahduan hidup.
Kelak, kamu patut berbangga
hati Geunaseh, telah membentuk seorang anak manusia untuk menulis—aku tidak
memproklamirkan diri sebagai penulis—Engkau tidak perlu takut,
tulisan-tulisanku tidak akan mati, ia hanya hilang kabar sementara waktu.
“Aku masih menulis. Tidakkah
engkau sadar, sudut kota, belantara rimba, bahkan luasnya laut telah aku wara-wiri karena hasrat menulis. Engkau pelakunya, telah meniupkan roh itu
dalam diriku. Tidak perlu risau, hasrat itu tidak akan mati,” aku kembali
memperjelas, berharap engkau tidak lagi marah-marah.
Bukankah suatu waktu yang lalu
aku pernah mengajarimu suatu hal; “bahwa sesuatu yang datang dari hati akan
menyentuh hati”. Aku telah mendatangkan itu untukmu, tugasmu hanya merawatnya saja, itu pun jika engkau mau.
Benar saja, engkau begitu
lihai menggiringku untuk mengakui segala sesuatu yang seharusnya kusembunyikan
darimu. Sesuatu celah kenaifan yang seharusnya disembunyikan dari sang
lawan. Aku tidak melihat sifat penghancur dari dalam dirimu, namun jika pun
ingin kau lakukan untukku maka lakukanlah, aku telah menyerahkan diri, engkau
bebas memporak-porandakan.
Selamat, kamu pemenangnya. Aku telah menulis lagi.***
Sudut Kota Banda
Aceh, 23 Oktober 2021.